Gua Mari Grabag Magelang

2 komentar Rabu, 26 Agustus 2009

Mungkin ini kali pertama kami atau Anda mendengarnya. Gua Maria di Grabag, apa ada? Di Grabag ada Gua Maria, mana mungkin? Mungkin itu yang terbersit kali pertama mendapat kabarnya. Namun, bolehlah kami memulai berbagi cerita tentangnya, karena ketakjuban yang tiada tara boleh sejenak kami rasakan di sana.

Saat ini, sebagian besar umat di Grabag adalah para pendatang. Kekhasan para pendatang ini menjadi api yang sekiranya memberi nyala bagi jemaat perdana yang mulai agak redup. Ibarat lilin-lilin kecil kini mulai berkumpul, maka kegelapan di sekitar pun mulai sirna.

Pendirian Kapel Santo Yusuf akhirnya dimulai. Tentu saja dengan izin dan proses yang lama, seperti biasanya. Pembangunan itu tentunya tidak semudah seperti penuturan kisah ini tentunya. Karena dari penuturan Ibu Ch. Maryanti, saat rumah Allah ini akan dibangun, penolakan, pelemparan batu, dan ancaman pembakaran meneror umat Allah di daerah Grabag. Sisa lemparan masih dapat kita lihat di kaca depan kapel. Tetapi surutkah mereka? TIDAK! Dengan kepasrahan dan doa, mereka serahkan semua kehadirat Gusti Dalem. Mereka betul - betul menyadari inilah salib mereka dan akan mereka tanggung bersama.

Tahun 1991 Kapel Santo Yusuf Stasi Grabag mulai dibangun. Pendirian rumah bagi Sang Putra kini sudah paripurna, tetapi justru itulah awal perjalanan umat Stasi Grabag memasuki babak baru peziarahan iman mereka. Merawat, melestarikan, dan menghidupi kekatolikan mereka agar tetap subur di tengah semak dan duri, itulah salib mereka yang baru. Ya, itulah salib. Bukan beban. Salib harus kita pikul dengan kepasrahan dan kerelaan, serta dengan segala harapan bahwa Tuhan juga memiliki rencana yang indah saat kita dirasa cukup memikul salib kita di dunia. Itu jauh lebih sulit dari sebelumnya, tetapi jangan khawatir Saudaraku, seluruh Gereja umat Allah akan membantumu dengan darasan doa.

Keinginan memperindah rumah Allah itu pun tidak berhenti, selain itu kerinduan pada Sang Bunda juga mengelayuti hati umat Gereja diaspora ini. Dengan bantuan dari berbagai pihak pembangunan Gua Maria Grabag dimulai pada Oktober 2002 dan diresmikan pada 23 Juli 2005 oleh Mgr. Ign. Suharyo, Pr. Memang tanah di sekitar gua ini sangat besar karena menyatu dengan SMP Pendowo Grabag dan Kapel Santo Yusuf, tetapi Gua Maria itu sendiri sangatlah kecil, mungkin hanya berukuran 10 x 10 meter.

Udara yang asri dan sejuk serta tempat yang belum banyak dikunjungi orang inilah yang membuat suasana menjadi khusyuk dan hening. Banyak kisah menarik selanjutnya yang terjadi di sini. Seperti cahaya biru yang muncul saat pengambilan gambar patung Sang Bunda, bisikan Gusti Dalem pada Ibu Ch. Maryanti, dan berbagai hal yang membuat decak kagum dan merinding ketika mendengar kisah sederhana nan menakjubkan itu. Kami tidak akan banyak bertutur di sini, biarlah Anda merasakan suasana hening Gua Maria ini dan mendengar sendiri kisah – kisah dari Ibu Ch. Maryanti.

Bagi saudara yang ingin berkunjung ke Gua Maria Grabag mungkin sedikit petunjuk dari kami bisa membantu. Dari arah Semarang ke Jogja, setelah daerah Pringsurat di sebelah kiri jalan ada daerah bernama Grabag. Ikuti jalan tersebut kemudian setelah sampai di pasar Grabag, Anda mengambil arah ke selatan menuju daerah Pakis. Tak kurang 400m dari pasar, di sebelah kiri jalan, Anda akan menemukan lokasi Gua Maria Grabag.
Kiranya, demikianlah sharing yang dapat kami ungkap. Jelas, tidaklah lengkap. Namun, kami berharap, jikalau masih diberikan saat barang sekejap, kami akan mengulang rasa takjub itu dengan penuh nikmat, apalagi jika bisa menginap. Sementara kenangan, biarlah tinggal tetap, untuk kami ceritakan kepada siapa yang ingin mencecap. Agar mereka pun pada suatu saat, entah bisa mampir atau melihat, ikut mendapat berkat, melalui Bunda bercahaya biru.

Oleh : Verena
read more “Gua Mari Grabag Magelang”

Sejarah Gua Maria Kerep Ambarawa

0 komentar Minggu, 16 Agustus 2009

Gua Maria Kerep dibangun pada tahun 1954 sebagai wujud kerinduan umat Paroki Santo Yusuf Ambarawa untuk mendekatkan diri pada Tuhan dengan perantara Bunda Maria. Pembangunannya dipelopori oleh para Bruder Jesuit dan dan didukung oleh Romo J.Reijnders SJ, pastor paroki Santo Yusuf Ambarawa. Semula para biarawan itu tinggal di Yogyakarta. Mereka hijrah ke Muntilan pada 1948 sebelum menetap di Kerep, Ambarawa. Pada tahun 1960 bruderan pindah ke Salatiga. Dengan bantuan siswa SGB, mereka mengumpulkan batu demi batu hingga akhirnya berdiri Gua Maria Kerep. Bangunan itu diresmikan oleh Mgr Albertus Soegijapranata SJ pada 15 Agustus 1954.

Lokasi Gua Maria Kerep ditemukan oleh Pastor Lukas Koersen SJ, direktur pada Bruder Apostolik dan Pastor Kester SJ. Letaknya di kebun Bruderan. Lokasi itu tidak terlalu istimewa, tetapi sangat cocok untuk tempat ziarah. Tidak lama setelah itu, Gua Maria dibangun di lokasi yang ditunjukan oleh kedua Pastor tersebut. Sebelumnya, umat setempat berziarah ke Sendang Sriningsih, Wedi Klaten. Sejak diresmikan pada tahun 1954, gua ini ramai didatangi para peziarah.

Pada tahun 1981, Gua Maria Kerep direnovasi berkat dukungan keluarga Lo Thiam Siang alias Bapak Bedjo Ludiro dari Juwana, yang baru saja berziarah ke Gua Lourdes, Prancis. Keluarga ini bersyukur kepada Tuhan atas terkabulnya doa mereka bagi kesembuhan sang istri dari penyakit lumpuh. Gua ini dibangun mirip Gua Maria Lourdes. Upacara pemberkatan dilakukan pada 4 Oktober 1981 oleh Uskup Agung Semarang saat itu Justinus Kardinal Darmojuwono.

Seiring dengan besarnya jumlah umat untuk berziarah ke Gua Maria Kerep, Uskup Agung Semarang Mgr. Julius Darmaatmaja SJ pada tahun 1992 membentuk Panitia Pembangunan Gua Maria Kerep untuk melakukan renovasi tambahan dan membangun beberapa fasilitas pendukung untuk kegiatan rohani (rekoleksi, retreat, dan pertemuan rohani lainnya). Juga dibangun stasi-stasi jalan salib diantara pepohonan yang rindang sepanjang musim. Di komplek gua ini juga terdapat makam Pendiri Wanita Katolik Republik Indonesia (WKRI), Ibu Maria Soelastri Soejadi Darmoseputro, yang wafat pada 8 September 1975.

Dewasa ini halaman Gua Maria Kerep bisa menampung sekitar 3000 umat. Yang berziarah ke sini bukan hanya umat Katolik melainkan juga umat agama lain bagi umat Katolik, keberadaan Gua Maria Kerep tidak hanya sekedar sebagai tempat untuk berziarah dan berdoa. Kehadiran gua tersebut erat kaitannya dengan sejarah perkembangan agama Katolik di Jawa Tengah. Daerah ini merupakan salah satu pusat perkembangan agama Katolik di daerah ini.

Gagasan untuk memperindah Gua Maria Kerep Ambarawa (GMKA) tak kunjung habis. Setelah pembangunan arena perkemahan yang dilengkapi dengan rumah kaca, muncul gagasan untuk menciptakan taman firdaus, yang diharapkan menjadi Taman Doa. Taman Doa tempat dimana umat menimba kekuatan yang berasal dari Allah melalui perjumpaan dengan Yesus. Beberapa tempat ditanah Palestina dihadirkan dalam taman doa ini, agar kita dapat merenungkan peristiwa - peristiwa hidup Yesus.

Pada Tanggal 15 Agustus 2004, Hari Raya Maria Diangkat Ke Surga, diselenggarakan perayaan 50 tahun GMKA. Pada hari itulah diadakan upacara sederhana peletakkan batu pertama Taman Doa GMKA. Sejak itu mulailah pula pembangunan Taman Doa.

Melalui Jembatan yang menghubungkan kawasan peziarahan GMKA kita dapat menuju Taman Doa, dan dengan menyusuri jalan di Taman Doa dapat kita renungkan peristiwa - peristiwa hidup Yesus : sungai Yordan tempat Yesus dibaptis oleh Yohanes Pembaptis, Kana di Galilea tempat Yesus mengubah air menjadi anggur, padang rumput luas tempat Yesus menggandakan 5 roti dan 2 ikan, danau Galilea tempat Yesus Memanggil para murid-Nya untuk menjadi penjala manusia, taman makam tempat Yesus masuk ke rahim ibu pertiwi, dan kemudian pada hari ketiga bangkit dan memberi pesan kepada wanita, Jangan takut! Pergi dan katakanlah kepada Saudara-saudara-KU supaya mereka pergi ke Galilea, dan di sanalah mereka akan melihat Aku!

Pesan tersebut mendorong kita untuk bersama Maria melanjutkan perjalanan kita, agar kita semakin setia mengikuti Yesus untuk mewartakan Kerajaan Allah yang memerdekakan.(bdk. Arah Dasar Keuskupan Agung Semarang 2001-2005,a1.1)

Minggu, 8 Mei 2005 taman Doa GMKA diberkati oleh Mgr. I. Suharyo, Uskup Agung Semarang, pada misa novena yang menegaskan jatidiri Gereja Keuskupan Agung Semarang sebagai persekutuan paguyuban-paguyuban pengharapan.

Penulis Veren
read more “Sejarah Gua Maria Kerep Ambarawa”

Mengenal Musium Kereta Api Ambarawa

0 komentar

Museum Kereta Api Ambarawa adalah sebuah museum di Ambarawa, Jawa Tengah yang memiliki kelengkapan kereta api yang pernah berjaya pada zamannya. Salah satu kereta api uap dengan lokomotif nomor B 2502 dan B 2503 buatan Maschinenfabriek Esslingen sampai sekarang masih dapat menjalankan aktivitas sebagai kereta api wisata. Kereta api uap bergerigi ini sangat unik dan merupakan salah satu dari tiga yang masih tersisa di dunia. Dua di antaranya ada di Swiss dan India. Selain koleksi-koleksi unik tadi, masih dapat disaksikan berbagai macam jenis lokomotif uap dari seri B, C, D hingga jenis CC yang paling besar (CC 5029, Schweizerische Lokomotiv und Maschinenfabrik) di halaman museum.

Sekitar satu jam perjalanan dari rute Semarang - Yogyakarta, kita bisa berkunjung ke lokasi museum kereta api yang terletak di kota Ambarawa. Dari semua museum kereta yang pernah saya kunjungi selama berwisata di luar negeri, boleh dibilang kereta api yang terdapat di museum ini kurang terpelihara dengan baik. Hanya satu dari sekian lokomotif yang ada di museum ini masih terawat dengan baik, yakni lokomotif yang hingga sekarang masih digunakan untuk keperluan wisata secara komersial. Selebihnya, tampak terabaikan dengan membiarkannya berkarat di luar bukan didalam ruangan tertutup yang mampu melindunginya dari perubahan cuaca, seperti yang umum dilakukan oleh museum kereta api lainnya.
Sepanjang ingatan saya, secara keseluruhan kondisi stasiun (museum) kereta ini, masih terlihat terawat seperti mana kondisi saat masih 'berjaya' dimasa lalu. Halaman teras stasiun terlihat rapi, bersih dan terawat, demikian juga dinding atau bangunan fisik dari stasiun ini. Sebuah jam model kuno yang terpasang di dinding sisi atas stasiun masih bisa berfungsi dengan baik. Model jam seperti ini, dulunya umum digunakan diseluruh stasiun kereta api.

Stasiun ini didirikan pada tahun 1873 selama pemerintahan kolonial Koningen Willem I. Sampai sekarang, beberapa ruangan dan perabot yang dulu sering digunakan selama masa tersebut, masih tampak terlihat terawat dengan baik. Anda bisa melihat bagian ruang tunggu yang masih lengkap dengan perabot meja kursi tempo dulu dan beberapa peralatan komunikasi dan kontrol jalur kereta api yang kesemuanya masih dalam kondisi baik. Sayangnya stasiun ini sudah tidak lagi berfungsi sebagai sarana transportasi umum, namun sebagai museum kereta api bisa menjadikannya lebih terawat.
Pada jaman kolonial, kereta api yang ada di stasiun ini digunakan sebagai sarana transportasi umum untuk melayani penumpang dan hasil pertanian di sekitar lokasi. Untuk melintasi area perbukitan, pada bagian tengah dari rel kereta api terdapat plat besi khusus untuk memudahkannya mendaki bukit.

Saat ini, satu dari beberapa lokomotif tua yang ada di stasiun ini masih digunakan untuk keperluan wisata, terutama bagi mereka yang ingin merasakan pengalaman naik kereta ber-loko seperti yang dulu pernah terjadi. Museum ini mengenakan biaya sebesar 3,5 juta rupiah (+/- 400 USD) untuk sebuah rute perjalanan dengan menggunakan kereta api tua yang mampu mengangkut hingga maksimum 40 orang.
Perjalanan sejarah "tempo doeloe" ini menempuh jarak sekitar 20 kilometer pulang-pergi, yakni dari Stasiun Ambarawa hingga Stasiun Bedono dalam waktu tempuh +/- dua jam.

Saratnya kandungan sejarah dengan suasana stasiun kereta api jaman dulu yang masih terawat rapi, menjadikan lokasi ini cukup populer sebagai tempat untuk "pre wedding photgraphy" atau sekedar sarana jalan-jalan dengan binatang peliharaan oleh masyarakat sekitar.

Penulis Veren
read more “Mengenal Musium Kereta Api Ambarawa”